Satria, seorang jurnalis detik.com, kabarnya telah menjadi korban intimidasi yang diduga dilakukan laskar FPI saat meliput insiden ricuh yang terjadi saat acara Munajat 212 berlangsung di Monas pada Kamis malam (21/2/2019). Detik-detik intimidasi terhadap Satria itu disampaikan saksi mata, Walda Marison, yang juga seorang jurnalis dari sebuah media online.
Kericuhan terjadi di acara malam Munajat 212 di Kawasan Monas, Jakarta Pusat. (suara.com)
Menurut Walda, intimidasi itu terjadi ketika dirinya sedang berada di belakang panggung bersama jurnalis lainnya saat acara sedang berlangsung. Tiba-tiba kericuhan pecah di area acara yang diduga berasal dari adanya copet.
Saat itulah Satria yang berada di posisi paling depan di antara jurnalis lainnya mengabadikan gambar melalui rekaman selular. Akhirnya, Satria ditarik oleh kerumunan massa untuk diamankan.
"Nah satu wartawan, Satria kebetulan paling dekat dan merekam di lokasi kericuhan. Mungkin orang FPI sadar kalau Satria merekam full. Dia paling dekat. Kemudian dia paksa Satria untuk hapus rekaman," kata Walda.
Tak hanya itu, Satria juga mengalami perlakuan kasar, dicekik, dicakar, kemudian bajunya ditarik-tarik massa di sana. Walda yang berusaha melerai kericuhan tersebut malah menjadi sasaran copet. Ponsel genggamnya pun raib.
Insiden pencopetan yang berujung ricuh itu juga diakui Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Harry Kurniawan.
"Iya itu diduga copet ya, ada dua orang dan sudah kita bawa, ya itu diduga ya (berawalnya Kericuhan)," kata Harry seperti dikutip suara.com (22 Februari 2019).
Nah, lho! Di mana MUI DKI Jakarta? Bukankah lembaga fatwa DKI itu yang telah memprakrasai acara Munajat 212 yang diserukan Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab?
Sebagai lembaga fatwa yang menjadi milik umat Islam dari semua golongan, seharusnya MUI bisa berpikir panjang untuk menggelar aksi "Munajat 212" di tahun politik. Pasalnya, acara semacam itu dinilai rentan berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan tertentu menjelang Pilpres 2019.
Dalam konteks demikian, sangat beralasan apabila ada yang menuding bahwa MUI DKI telah ikut "bermain politik" dengan menggandeng GNPF-Ulama dan PA 212 untuk menggelar "Munajat 212" yang diserukan Habib Rizieq.
Kekhawatiran munculnya agenda politik itu akhirnya terbukti ketika teriakan nama salah satu capres menggema di sela-sela acara. Bahkan, ada seseorang berpantun-ria, “Burung Dara terbang ke hulu. Burung Nuri sayapnya biru. Satukan suara saat Pemilu. Kita pilih Presiden baru,” katanya seperti dikutip kumparan.com (21/2/2019).
Terkait agenda keagamaan yang diduga telah berubah menjadi aksi politik tersebut, MUI DKI Jakarta perlu "dijewer" dan diberi teguran keras oleh MUI Pusat. Sebagai lembaga fatwa milik umat Islam dari semua golongan, MUI DKI dinilai tidak pantas menggelar acara dengan menggandeng GNPF-Ulama dan PA 212 yang jelas-jelas memiliki afiliasi politik dengan paslon 02 hingga akhirnya Munajat 212 berubah menjadi aksi politik.
Apalagi, Munajat 212 juga sempat diwarnai kericuhan hingga seorang jurnalis menjadi korban intimidasi yang diduga kuat dilakukan oleh laskar FPI.
Dalam situasi demikian, MUI DKI tidak boleh cuci tangan. Mereka harus ikut bertanggung jawab terhadap aksi "politik" Munajat 212, termasuk insiden intimidasi yang menimpa seorang jurnalis. Itu saja!