JAKARTA - Setiap peristiwa politik itu dimulai dari dua hal, yaitu tren dan rekayasa. Keduanya bisa mempengaruhi satu sama lain. Hal tersebut diutarakan pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio dalam diskusi Kaukus Muda Indonesia (KMI) bertajuk, "Membaca Peta Politik Menjelang Pilpres 2019" di Jakarta Pusat, Rabu 9 Januari 2019.
“Pak Jokowi itu tren atau rekayasa. Kalau kubunya Pak Jokowi bilang itu tren, rakyat menginginkan sosok pemimpin yang sederhana. Kalau kubu oposisi bilangnya itu rekayasa, pencitraan,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, dalam kajian Kompas, yang menarik dari Jokowi adalah infrastruktur. Sedangkan, yang menarik dari Prabowo adalah isu ekonomi dan lapangan kerja. Sementara, dari hasil survei berbagai lembaga, yang dirasakan paling dibutuhkan oleh masyarakat adalah terkait ekonomi dan lapangan kerja.
“Jadi, kubu Jokowi ini, seperti yang disampaikan kompas, perlu hati-hati,” ucapnya.
Dia juga mengungkapkan, elektabilitas Jokowi perlahan tapi pasti terus menurun dari angka 60 persen hingga mendekati 50 persen. Mengapa hal itu terjadi? Menurutnya, lembaga-lembaga survei lah yang bisa menjawabnya.
Lebih jauh, Founder Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) itu mengatakan, politik adalah bisnis harapan, siapa yang bisa menjual harapan paling bagus itu yang dipilih.
“Bisnis Harapan ini menjadi perhatian masyarakat. Kan kalau kita lihat Jokowi dan Prabowo enggak ada wow factornya. Pak Jokowi dari 2014 itu gitu-gitu aja, makanya trennya turun terus,” ujarnya.
Di sisi lain jelas dia, Prabowo sejak 2014 penampilannya tidak jauh berbeda. Misalnya dari pakaian, yang dipakai Prabowo biasanya adalah baju berwarna coklat, krem dan putih. Meskipun sekarang ada yang biru.
“Sehingga siapa yang ditunggu? Bang Sandi dan Pak Kyai Ma’ruf kan. Sandi sering tuh lihat-lihat itu. Bahkan Pak Jokowi beberapa kali kejebak, Sandi pegang tempe, Pak Jokowi juga pegang tempe. Sandi pegang pete, Pak Jokowi juga pegang pete. Sandi senam pagi, Pak Jokowi juga senam pagi,” kata Henry.
Dia juga mengungkapkan, meskipun saat ini Jokowi-Ma’ruf masih di atas angin, tapi ada penurunan. “Jadi kan agak membahayakan, makanya TKN agak kerja keras nih,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, pengamat politik Indonesian Public Institute, Jerry Massie mengatakan, meskipun sembilan lembaga survei besar memenangkan Jokowi, di antaranya LSI, Poltracking, Indobarometer, Charta Politika, SMRC dan lainnya tapi hal itu tidak menjamin kemenangan pasangan nomor urut 01 itu.
Selain itu kata Jerry, tim TKN Jokowi-Ma'ruf juga harus mampu menjaga basis mereka di Pulau Jawa seperti Jatim dan Jateng. Begitu pula Ma'ruf harus mampu merebut wilayahnya Banten.
"Pemilih terbesar di Jawa Barat ada 32,6 juta dan Jatim 31 juta dan Jateng 27,9 juta, setidaknya paslon yang menguasai Jawa maka dipastikan dialah pemenangnya. Begitu pula dengan emak-emak serta pemilih mileneal yang berjumlah 80 juta atau total 40 persen dari 185 juta pemilih.
Sejauh ini ucapnya, perang pasar terus dimainkan oleh kedua kubu baik sang petahana Jokowi maupun Sandiaga Uno. Begitu pula perang mileneal dimana kian gencar.
“Seperti di Amerika 2016 lalu, hampir semua lembaga survei salah satunya Gallup memenangkan Hillary (Clinton), tapi yang menang adalah Trump. Jadi suara survei belum tentu sama dengan electoral vote," ujar Jerry.